Sabtu, 01 Februari 2014

We Are LASKAR IKLIM

Climate Warriors is a distinguished community focus on the conditions of carbon population who increasingly depleted, the climate is our soldiers who care about the condition of the universe, and willing to be the eyes ears and told the world about climate change is happening all around us, ... ....................... together let's keep this universe ..................
(laskar iklim adalah sebuah komunitas yg fokus pada kondisi populasi karbon yg makin hari makin menipis,laskar iklim adalah kita yg peduli pada kondisi alam semesta,dan sudi untuk menjadi mata telinga dan mengabarkanya kepada dunia tentang perubahan iklim yg terjadi di sekitar kita,..........................mari bersama-sama menjaga semesta ini..................)



Kerangka Acuan Pembentukan Organisasi Laskar Iklim
1. Latar Belakang Masalah
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim kini sudah bergeser dari wacana menjadi aksi. Didalam kerangka aksi untuk menghambat percepatan pemanasan global, terutama berkaitan dengan faktor-faktor penyebab yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, JAKI melihat bahwa pembentukan karakter manusia yang sadar akan perubahan iklim memiliki fungsi strategis diantara berbagai bentuk pendekatan langsung maupun tidak langsung terhadap upaya menekan tingkat pelepasan gas-gas pembentuk efek rumah kaca (GRK) ke atmosfir.

Mulai dari temuan tingkat pencemaran pada Inter-governemental Panel for Climate Change (IPCC) yang kemudian menghasilkan penetapan sasaran pengurangan GRK global pada Protokol Kyoto hingga pada penetapan sasaran pengurangan GRK ditingkat nasional (ratifikasi Protokol Kyoto maupun berbagai konvensi ikutannya / UNFCCC-COPs), hampir semua nilai volume GRK didalam baseline data maupun sasaran pengurangannya mewakili luas wilayah geografis tertentu. Ditingkat global para ilmuan peneliti dari organisasi-organisasi yang terlibat didalam kelompok kerja (IPCC-WGs) mendasari dan menyimpulkan volume GRK yang mewakili cakupan kegiatan tertentu sesuai bidang keahlian masing-masing, untuk kemudian di rangkum didalam Conference of Parties (UNFCCC-COPs) dalam rangka memperbaharui sasaran maupun agenda global.
Indonesia saat ini baik secara geografis maupun secara politis diperhitungkan sebagai salah satu diantara negara-negara yang berada dibarisan terdepan didalam memerangi pemanasan global. 

Dipandang dari sudut geografis Indonesia adalah salah satu diantara sembilan negara didunia yang memiliki hutan tropis terluas yang berfungsi sebagai ¡¥paru-paru bumi¡¦ sehingga dimasukkan oleh PBB kedalam program Reduction of Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Sementara itu setelah COP ke-13 UN-FCCC Desember 2007 di Bali yang menghasilkan Deklarasi Bali, kemudian dilanjutkan dengan inisiatif Indonesia untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 26% hingga tahun 2030,membuat Indonesia mulai dikenal dunia sebagai pemimpin global didalam upaya pengurangan emisi CO2 terutama melalui program-program REDD+.
Tantangan yang ada saat ini adalah realisasi dari dari komitmen jangka panjang pemerintah pemerintah, terutama setelah era SBY. Akankah pemerintah mendatang ikut mewarisi komitmen tersebut atau justru memiliki pandangan lain dan melakukan pendekatan yang berbeda?. 

Masalahnya saat ini dapat dikatakan hampir tidak ada indikator dalam negeri yang dapat memastikan kesinambungan inisiatif tersebut, terutama mengingat bahwa dasar pengambilan keputusan menyangkut pemanasan global dan perubahan iklim di Indonesia masih mengandalkan hasil penelitian, analisa dan asumsi dari para ilmuan dan peneliti asing. Sebagai buktinya, tidak satupun lembaga penelitian yang berasal dari Indonesia yang menjadi anggota pada salah satu diantara berbagai working group (WG) pada IPCC. Diantara 197 ilmuan penandatangan Deklarasi Bali hanya ada satu orang berkebangsaan Indonesia, Dr. Jerry Tjiputra, itupun mewakili organisasi Atmospheric and Oceanic Science dari Princeton University, jadi tidak sepenuhnya mewakili Indonesia karena wilayah penelitiannya berkisar di Atlantik Utara. Kenyataan ini cukup menjelaskan seberapa kuat pijakan kita pada sebuah komitmen pemerintah yang telah membuat negara kita tersanjung di tengah-tengah gerakan global untuk memerangi perubahan iklim. Apakah para pembantu Presiden yang telah mendorong pengambilan keputusan mengenai hal tersebut benar-benar memahami persoalan yang dihadapi bangsa ini sehingga kemudian mereka mampu merumuskan solusi yang bermuara pada target pengurangan sebesar 26% tanpa harus membuat regulasi yang radikal (bussiness as usualy)?. Apabila benar, maka siapa saja ilmuan Indonesia yang telah melakukan penelitian seksama mengenai emisi CO2 dari hutan dan lahan gambut di Indonesia, apa saja temuan mereka, dan mengapa nama peneliti maupun temuannya tidak terdengar ditingkat global?. Kemungkinan lainnya adalah, referensi untuk pengambilan keputusan sebagian besar didasari oleh hasil penelitian maupun asumsi peneliti asing yang bernaung dibawah lembaga-lembaga internasional yang memiliki reputasi tinggi. Apabila demikian keadaannya maka sangat mungkin lembaga-lembaga asinglah yang paling berperan didalam penyusunan rencana aksi bahkan hingga eksekusi berbagai kegiatan untuk mencapai target yang telah dicanangkan.

Kurangnya peranan para ilmuan maupun lembaga-lembaga dari Indonesia pada perdagangan karbon terutama disebabkan minimnya anggaran penelitian yang disediakan pemerintah. Sebagian besar kegiatan penelitian perubahan iklim yang berlangsung di wilayah Indonesia dananya berasal dari luar negeri. Penyebabnya bukan karena pemerintah kekurangan dana, melainkan karena miskinnya inisiatif dari lembaga-lembaga penelitian lokal yang telah terbiasa menjalankan peran sebagai fasilitator berbagai inisiatif yang berasal dari luar negeri. Akibatnya kita hanya mendapatkan peran yang kecil-kecil bahkan sebagai figuran yang tidak pernah terlibat didalam proses dari hulu hingga ke hilir didalam skenario perdagangan karbon. Alhasil dana kompensasi REDD yang jumlahnya miliaran dollar sebagian besar akan kembali lagi ke negara-negara pembeli melalui berbagai organisasi perencana, pelaksana dan pengawasan. Yang tersisa adalah pekerjaan-pekerjaan kecil yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat lokal atau perguruan tinggi, sementara anggota masyarakat yang tinggal disekitar hutan mendapatkan bantuan atas nama ¡¥pemberdayaan¡¦ yang tidak seimbang dengan tekanan kultural yang akan dialami oleh mereka karena dipaksa merubah gaya hidup mereka.

Lemahnya landasan pemahaman bersama terhadap dampak perubahan iklim dimasyarakat pada umumnya sangat mungkin menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya inisiatif lokal untuk melakukan aktifitas yang berkaitan dengan perubahan iklim (a.l. adaptasi, mitigasi, antisipasi dan kalibrasi). Hal ini masih dipandang wajar mengingat dampak langsung perubahan iklim paling nyata terjadi diwilayah sub-tropis hingga ke Kutub Utara maupun Selatan, Benua Afrika pada umumnya serta dinegara-negara industri yang telah maju. Bencana akibat cuaca yang semakin kerap terjadi di Indonesia seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan belum banyak disadari sebagai sebuah fenomena perubahan iklim karena mengingat masih lemahnya kapasitas pemerintah dalam sosialisasi perubahan iklim terutama diwilayah-wilayah terpencil yang rawan bencana.

2. Pendekatan Masalah dan Metodolgi
Upaya membangun pemahaman bersama mengenai perubahan iklim akan akan lebih efektif bila dimulai dari bawah (bottom-up approach), yaitu diawali dari pemahaman ditingkat perorangan kemudian keluarga, lingkungan kediaman maupun pekerjaan, hingga ke lingkungan organisasi. Proses pembelajaran harus mampu teraktualisasi didalam perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang menggambarkan kesadaran penuh akan perubahan iklim misalnya bijaksana dalam menggunakan kendaraan bermotor, mengelola sampah, menggunakan energi listrik dan sebagainya. Didalam kerangka ini selain diperlukan materi pembelajaran yang terstruktur sesuai sesuai target, juga diperlukan sistim operasional pelatihan terstruktur sesuai tingkat pemahaman dan keahlian yang diharapkan (metodologi didaktik).

Disatu sisi perubahan iklim adalah sebuah dinamika yang hadir dalam berbagai bentuk, skala maupun intensitas. Disisi lainnya setiap orang, keluarga, komunitas maupun strata sosial dan ekonomi memiliki kapasitas yang berbeda-beda didalam beradaptasi dengan perubahan iklim . Anak-anak memiliki tingkat adaptasi yang berbeda dengan orang tua. Keluarga dengan beberapa anak yang masih kecil memiliki tingkat adaptasi yang tidak sama dengan keluarga yang anak-anaknya telah melewati masa remaja misalnya. Petani atau nelayan akan menyikapi perubahan iklim secara berbeda dengan masyarakat yang tinggal diperkotaan. Demikian seterusnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa diperlukan berbagai latar belakang ilmu, kapasitas dan daya jangkau untuk membangun pemahan bersama terhadap perubahan iklim.

Karena tidak satupun organisasi yang mampu menghimpun seluruh sumberdaya yang diperlukan untuk membangun pemahaman bersama mengenai perubahan iklim maka gerakan masyarakat merupakan satu-satunya cara.
Didalam konsep gerakan masyarakat ini, pembentukan karakter aktifis perubahan iklim merupakan inti terpenting, yakni ;

  • Pengetahuan ruang linkup & pengelolaan.
  • Wali amanat bagi Sosial Kemasyaraktan.
  • Penerapan azas manfaat bagi mahluk hidup.
  • Teknologi terapan.
  • Penggagas Jaringan.
  • Pengembangan lain sebagai pusat informasi mengenai Gas Rumah Kaca dan CO2.
  • Pengawasan Nilai-nilai Lingkungan.

Informasi :
Office : Laskar Iklim,Jl A.Yani 235 Purwodadi,Jawa Tengah Telp.0292 770 7088
Mobile : 081 225 250 89 - 085 740 125 749